Pengalaman Menjadi Juri Lomba



Gw beberapa kali di daulat tempat kerja untuk bantu jadi juri acara lomba anak-anak. Alasan  kompetensi pengetahuan di bidang yang dilombakan dan dianggap mudah akrab sama anak-anak. Kuota juri juga sebaiknya terpenuhi (lebih dari satu). 

Untuk tuduhan terakhir gw perlu klarifikasi dulu, gw merasa biasa-biasa saja dengan anak-anak. Cuma kadang-kadang suka ada anak ke PD-an yang sok ikrib melipir datang. Dan kalau sama model mereka ini di level parah gw malah lebih banyak dikerjainnya.  Dari luar kelihatannya saja akrab. Wkwk. 

Sampai ada teman yang ngeledek fenomena ini, 

"Soalnya usia kalian sama." Tsk!

Ceritanya acara lomba yang gw ikut ambil bagian di dalamnya itu nggak cuma tayang di satu tempat. Ada kali di berbagai daerah. Ramainya jangan tanya! Kita para juri di belakang layar sampai juling saat memeriksa gambar-gambar yang beraneka rupa. Di taraf sudah kecapekan kita sudah melakukan gerakan refleks tanpa sadar pisahin gambar ke kiri dan ke kanan.

Itu cerita di belakang layarnya. Di depan layar yang namanya drama lebih banyak lagi hahaha (gw juga pernah jaga di garda depan). Yang bikin kita crew lomba suka panas dingin cuma satu : orang tua. Terutama ibu-ibu. ๐Ÿ˜…

Kenapa? In reality, lebih susah-susah gampang memberikan pengertian pada orang tua ketimbang anak. 

Contoh, ada ibu-ibu yang menyerobot antrian sambil bilang, 

"Kasihan, mbak, lihat anaknya sudah kecapekan, saya takut nanti pingsan." 

Padahal sang anak kelihatan segar dan nggak peduli dia lagi ada di depan atau belakang antrean! Duh.

Sampai tahu beberapa ibu-ibu yang sering menyertakan anaknya ikut lomba. Kita suka melihat ortu dan anak yang sama di berbagai lomba. Eh, mereka lagi. ๐Ÿ˜€

Yang mumet, kalau setelah lomba nggak terima anaknya nggak menang (padahal biasa menang lomba) atau didiskualifikasi karena tidak memenuhi syarat.  Makanya juri pilih langsung menghilang setelah pengumuman, menyerahkan semua komplain kepada para garda depan (semacam PR).  Soalnya kalau juri yang menghadapi wah, nggak semua orang bisa diplomatis terus dan sanggup menahan emosi, lho. Apalagi yang karakternya cablak. Kan bisa perang dunia 3 kalau ada yang sampai keceplosan ngomong karena kesal dan capek, 

"Soalnya gambarnya jelek." 

๐Ÿ˜ฑ๐Ÿ˜ฑ

Yes. Karena menilai lebih dari 500 gambar dalam sehari you don't have any idea, deh. Apalagi kita kadang termasuk tim serba rangkap yang bantu mengurusi banyak hal,  seperti closing ceremony, dsb. Jadi bila ada masalah seperti itu, kita serahkan ke teman-teman yang masih "segar" alias nggak ada hubungan dengan perasaan atau penilaian. Tugas mereka murni menenangkan orang dan menetralisir kekesalan. 


Satu hal yang gw pelajari disini, ibu-ibu kalau sudah bela anaknya kadang bisa begitu.... ๐Ÿ˜ฑ๐Ÿ˜ฐ Seolah hidup mati anak tergantung disana dan siapapun yang menghalangi adalah the bad guy.  Rekan-rekan gw yang cowok saja takut kalau sudah dilabrak, yang disuruh maju pasti cewek-cewek. ๐Ÿคฃ

Jadi pelajaran buat gw ke depan, supaya bisa lebih banyak-banyak introspeksi kalau ada di posisi yang sama. Gw yakin teman-teman pembaca disini nggak seperti itu! Eh, iya kan?*winks*๐Ÿ˜†

Dari pengalaman lomba-lombaan ini, gw belajar juga untuk berempati pada posisi penyelenggara dan juri. Yang terakhir,  seperti duduk di kursi panas sebetulnya. Rawan dikritik. Karena namanya penilaian itu nggak mungkin, deh, bisa 100% obyektif. Mendekati iya. Karena kita manusia, membawa semua sejarah serta pengalaman kita saat bereaksi terhadap sebuah karya. ๐Ÿ™„

Makanya di sebuah lomba, bila pesertanya banyak, akan semakin besar pula kemungkinan orang yang tidak merasa puas. Jelas, dong kan perbandingan pemenang dan peserta makin besar.๐Ÿค”

Peserta yang nggak puas, kalau tidak dikendalikan, bisa "bernyanyi" kemana-mana pasca lomba. Nambah kerjaan buat tim PR. Paling ideal itu, lomba dengan jumlah peserta yang optimal.  Sisa peserta di luar para pemenangnya akan sempat dipuaskan dengan servis pengalaman maksimal sepanjang lomba (misal dikasih makanan enak-enak, ada hiburan asik). ๐Ÿ˜‹

Cara membatasi peserta ada banyak cara : dengan prasyarat, harga tiket ikut lomba, sampai batas waktu pendaftaran. 

Yang harus diwaspadai itu, kalau kita di hari H masih menerima pendaftaran. Siap-siap saja banyak hal tidak bisa dikendalikan! Kadang jadi catastrophe. Been there done that hahaha...๐Ÿ˜†

Kamu sendiri bagaimana apakah punya pengalaman jadi panitia lomba atau malah jadi peserta lomba?๐Ÿ˜

---

Gambar : pixabay.com

2 komentar:

  1. Kebayang sih kalo sampe dilabrak ibu2 ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ. Aku sendiri ga mau di posisi itu. Takut emosi ikut meledak Mbaaa.

    Aku sendiri punya anak, tapi mereka selalu aku tekanin unyk bersikap sportif kalo kalah lomba. Menang kalah kan biasa.

    Jangan sampe ibunya malah gila sendiri maksa anaknya hrs menang ๐Ÿคฃ. Wajar aja kalo anak jadi egois nantinya, Krn ga diajarin utk menerima kekalahan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. nggak bisa keras kalau sama ibu-ibu itu...serba salah, kalau deal pakai logika kenapa menang/tidaknya suka nggak nyambung..walhasil sabar saja telinga jadi samsak dulu..

      bener begitu, kalau kita terus yang maju capek sendiri

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.