Ibu Bekerja dan Ibu di Rumah

Topik ini sebetulnya sensyitip bagi para moms, karena menyangkut pilihan hidup, latar belakang, dsb. Terutama di negeri Wakanda, maklum disini orang kan belum terlalu toleran dalam perbedaan pilihan. Bukan berarti nggak ada juga di negara lain. 

Kenapa gw nekad angkat topik ini?  Pertama, karena banyak membaca opini generasi muda tentang ibu bekerja dan ibu di rumah (kasus Dian Sastro). Kedua, berhubung tema blog ini adalah parenting, gw ingin menjelaskan pandangan dan posisi gw. Ketiga, share semacam tips dalam pemilihan.

Jadi menurut gw ibu bekerja dan ibu di rumah memiliki sisi positif dan negatif masing-masing. 

Yang gw pelajari adalah sebagai berikut.

(Gambar : pixabay.com)

IBU BEKERJA

Positif 

  • Jadi lebih percaya diri karena memiliki tempat untuk melampiaskan eksistensi
  • Tidak bergantung pada penghasilan pasangan, karena sudah memiliki sendiri.
  • Belajar manajemen waktu dan emosi dengan lebih baik, karena sering menghadapi berbagai perubahan kondisi.
  • Umumnya tangkas, memiliki relasi dan wawasan luas, tidak punya waktu banyak untuk hal-hal sepele.
  • Bila terjadi kondisi darurat, yang berhubungan dengan guncangan ekonomi (kehilangan pasangan, dsb), ibu bekerja masih memiliki pegangan.
  • Karena tidak selalu berada di zona nyaman, bisa lebih fleksibel menghadapi perubahan dan mencari solusinya.

Negatif

  • Tekanan masyarakat tradisional pada wanita bekerja
  • Walaupun perempuan itu multi tasking, pada dasarnya kebanyakan task itu sama artinya menambah tekanan. Jadi ibu bekerja lebih rentan kena stress, serta penyakit-penyakit yang disebabkan olehnya.
  • Karena waktu yang dihabiskan dengan anak dan pasangan lebih sedikit, beberapa dari ibu bekerja seringkali mengalami apes, “telat” tahu bila anak atau pasangannya tengah bermasalah.
  • Anak (terutama perempuan) menjadi terbiasa dengan peran ibu sebagai sosok yang bekerja di luar. Sehingga memiliki gambaran ideal bahwa ibu itu ya harus bekerja. Setelah menikah, harus banyak berkompromi (bila pasangan berbeda visi) termasuk dengan perasaannya sendiri, jika ia “terpaksa” ada di rumah.
  • Jika memiliki harapan ideal tentang karakter anak (misal rajin ibadah, dsb), harus “pasrah” dengan support system yang tersedia, karena tidak semua orang  berpemikiran sama atau bisa menerjemahkan persis sesuai keinginan kita sendiri.
  • Resiko bonding yang lemah, anak merasa lebih dekat dengan “ibu pengganti” ketimbang ibunya sendiri. Atau bila tidak memiliki satu sosokpun, akhirnya anak mencari kekosongan itu di masa remaja/dewasanya pada orang-orang lain.
(Gambar : pixabay.com)

IBU DI RUMAH**

**Dengan syarat kejiwaan sehat, positif, dan mengurus anak menjadi prioritas (nggak kebanyakan disambi).

Positif 

  • Bonding ibu dengan anak lebih kuat, begitu juga insting ibu jadi lebih banyak menemukan praktek. Namanya juga lihat anak setiap hari setiap waktu, terbiasa dengan hal-hal kecil pada mikro ekspresi anak-anak.
  • Anak memiliki lebih banyak kenangan tentang ibu. Ini juga akan membentuk image positif tentang “ibu di rumah”.  Karena kenyataannya ibunya juga menikmati. Terutama untuk anak perempuan ya.
  • Permasalahan yang dialami anak seperti kesehatan dan sekolah, lebih cepat terdeteksi, karena faktor pertama diatas, dan ketersediaan waktu.
  • Anak menjadi lebih perhatian dan merasa dekat dengan ibunya (ingat syarat dan ketentuan berlaku,yah). Di saat dewasa secara psikis pengaruh ibu akan menjadi bagian yang krusial dalam kehidupannya.
  • Selain anak, bisa lebih banyak juga memfokuskan waktu pada hubungan dengan pasangan. Serta memperhatikan kebutuhan-kebutuhan keduanya.
  • Tidak tergantung pada support system (nenek, kakek, pembantu, baby sitter), sehingga memiliki kebebasan lebih dalam membentuk karakter anak sesuai yang dimaui

Negatif 

  • Tekanan masyarakat modern bahwa wanita jaman now harus bisa ini itu
  • Harus super perhitungan, karena sudah keluar dari tenaga kerja, tentu saja penghasilan terbesar diharapkan kepada pasangan. Sehingga harus mempersiapkan banyak hal dari segi ekonomi (financial plan) jika ada kondisi yang tidak diinginkan.
  • Sering mengalami kejenuhan memuncak (jika tidak berkompromi dengan pasangan bisa sampai jatuh sakit). Bisa juga berimbas kepada drama.
  • Kadang merasakan haus akan eksistensi, bila tidak mencari hobi atau sambian selain pekerjaan mengurus anak, bisa jadi penyakit psikis.
  • Karena lingkup pergaulan terbatas, bila tidak sering-sering bergaul, belajar, dan menambah wawasan maka akan banyak ketinggalan kereta.
  • Ada dalam zona nyaman terkadang bisa membuai, sehingga tidak siap bila tiba-tiba ada perubahan dalam kehidupan.

Sayangnya semakin kemari berkembang anggapan miring generasi muda tentang ibu di rumah. Kayak pukul rata, padahal bisa jadi anggapan negatif itu timbul karena beberapa dari mereka memiliki orang tua yang :

  • Dua-duanya bekerja (jadi keumumannya ibu itu harus bekerja)
  • Ada di rumah, tapi sibuk ke hal lain (akhirnya nggak dipedulikan juga)
  • Ada di rumah, tapi sering stress (imagenya jadi buruk)

(Gambar : Pexels.com)

Tentu saja ada alternatif "turunan" lain seperti bekerja di rumah atau fokus dulu di anak hingga mereka mandiri. Kalau modelnya begitu, poin-poin di atas bisa disusun sendiri, sesuai situasi masing-masing. Intinya, gw cuma ambil dua poin ekstrim yang nanti bisa dikembangkan.

Kesimpulan

Bila memang bisa memilih, silahkan pelajari poin-poin di atas. Apa prioritas atau tujuan dari keluarga anda. Setiap orang kan beda-beda, ya. 

Gw nggak ada masalah dengan orang memilih sebagai apa. Justru gw melihat itu sifatnya menguntungkan kedua belah pihak.

Ibu bekerja bisa terbantu oleh kawannya, ibu di rumah, bila anaknya kenapa-kenapa atau lupa dijemput. Dan ibu di rumah juga diuntungkan bila di publik banyak dokter jaga perempuan, customer service perempuan, dsb. Ya, nggak?

Ceki-ceki lagi poin di atas, kalau tiba-tiba muncul gejala membandingkan, lihat apa yang sudah dikorbankan orang lain (di posisi berseberangan) untuk semua itu. Memilih dengan sadar dan gembira, merupakan privilege. Tidak seperti banyak orang yang merasa berada di tengah-tengah atau tidak punya jalan lain.

Anyway, gw tetap terbuka pada masukan-masukan, lho. Kalau dirasa ada yang perlu ditambahkan, dsb. Silahkan cuss tulis di kolom komen.

Gambar fitur : pixabay.com

10 komentar:

  1. Kalau aku suka banget dengan thread yang dibuat oleh Alandakariza. Mungkin karena situasianya hampir mirip. Aku dibesarkan oleh Ibu pekerja dan sekarang aku memilih tinggal di rumah. Mengutip yang ditulis Alanda, “There are also mothers who become stay at home mothers because they have to. I know there are many mothers who actually wish to work but can’t due to various constraints. Mostly because they don’t have the “village” to raise their kids in. For example: don’t have supportive parents/in-laws who can look after their kids, can’t afford a nanny nor daycare, live overseas.”

    Secara pribadi, dari awal aku memang tidak mau terseret tentang pendapat apapun yang meruncingkan perbedaan antara : bekerja di luar vs di rumah, memberi asi vs formula, caesar vs per vaginal dll. Kenapa aku cukup menyimpan saja opiniku dan jadi penonton? Karena pembahasan ini ga akan ada habisnya dan cuma jadi ajang umbar ego saja. Satu pihak akan selalu meninggikan diri sendiri karena merasa keadaannya lebih baik dibanding lainnya. Permasalahannya di situ. Jadi, buat apa diperdebatkan. Toh kondisi masing2 orang beda, jadi ga ada yg lebih tinggi dibanding lainnya. Lebih baik fokus saja apa yang di depan mata, bukan malah sibuk memojokkan pihak lain dan meninggikan diri sendiri. Jika sudah siap dengan keputusan yang dibuat, jalani dengan bahagia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Klo kubilang sih, (akhirnya komen juga kan aku 🤣🤣), selain dr para jomblo yg have no idea what a marriage feels like (kayak komentator Disas diatas), para ibu yg saling menyudutkan pihak yg berbeda, itu pertanda mereka sebenernya nggak PD lho dgn keputusan hidup mereka sendiri. Jadi ya misery loves company gt deh jatohnya. Yg terpaksa jadi IRT (& gak ridho), sibuk menyudutkan working mom. Yg terpaksa bekerja (& gak ridho), sibuk ngejulid’in ijazah IRT yg katanya cm dijadiin pajangan dan talenan. Sirik tanda tak mampu, gitulah Jon, kira-kira. Udah komennya? Klo kurang panjang, bilang ya, nanti ta’ jadikan bahan postingan, wkwkkwkw

      Hapus
    2. In my honest opinion, nggak ada environment yang sempurna. Itu masalah prioritas dan siap atau tidak dengan resiko-resikonya. Kalau nggak siap jalani saja yang ada dengan sepenuh hati. Daripada nanti jadi penyakit psikis bukan begitu...

      Hapus
  2. Haaaah mumet amat ngurusin lambe netijeun YtJ (Yang terJulyd). Mending guah mewarnai ajadaaah….. wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alasan klasik netizen bahas panjang, "mencegah pembodohan oleh public figure. Mengingat follower anak muda banyak.😆

      Hapus
  3. suka ulasannya krn menampilkan kedua sisi positif negatif dari ibu rt dan ibu bekerta..
    aku terpojok, karena aku ibu bekerja yg tidak lepas dari anak, sampai sekolahpun aku tungguin (bersama ibu2 penunggu yg lain).. positifnya buatku dobel - dekat dgn anak, mandiri scr finansial, bisa menerapkan konsep pengasuhan anak tanpa campur tangan orang lain, namun...
    .
    .
    .
    negatifnya juga dobeeeeeel!!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, mbak. Semoga kapan-kapan bisa share ceritanya.

      Seringkali harus fokus sisi positifnya supaya bisa menikmati yang sedang dijalani Semangat.

      Hapus
    2. awal sekolah anakku mom-schooling, waktu masuk sekolah biasa – aku tungguin selama sekolah (karena keadaan tidak membolehkan dia sekolah tanpa ditungguin) ^^ trus gantian anak nungguin mamanya kerja setelahnya..

      bener mbak, fokusnya ke positif aja – terima kasih 🙂

      Hapus
  4. Sebetulnya makin ke sini para ibu nggak perlu lagi mendebatkan hal-hal seperti ini, karena menurutku setiap keputusan yang diambil oleh ibu pasti lah yang terbaik bagi dia dan keluarganya. Kita pasti bias sih dengan pilihan kita sendiri. Cuma apa yang terbaik buat kita belum tentu baik untuk orang lain, vice versa :D

    Terus aku juga setujuuuu dengan komentar di atas yang membagikan kutipannya Alanda *I'm her big fan XD*. Seringnya lingkungan memaksa kita untuk memilih harus menjadi A atau B, meanwhile sebetulnya kita bisa juga menjadi keduanya hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh tulisan yang ini salah satu ilhamnya dari komentar anak muda (belum nikah) tentang ibu di rumah, mbak Jane. Yang katanya pengangguran. Bukan dari sesama ibu. Jadi ya yang belum ngerasain idealisme lebih berkobar.

      Kalau sesama ibu sudah pahamlah positif negatif masing-masing dan lebih sibuk nambal kapal sendiri daripada lirik-lirik kapal lain 🤣

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.